Cerita #1
“Bagaimana cara kau membuat rumah
pohon seindah ini?”
“Jangan banyak tanya, bocah
kecil,” balasku kesal.
“Kau membuatnya sendirian?”
Aku mendengus kesal mendengar
pertanyaan-pertanyaannya sejak 1 jam yang lalu.
“Bisa kau ajari aku? Ini luar
biasa!”
“Mau kuajari pun, kau tak bisa
membuatnya.”
“Kenapa? Kalau kau saja bisa,
kenapa aku tidak?”
“Sampai kapan kau akan
menyangkalnya?” tanyaku frustasi.
“Menyangkal apa?” Dia bertanya.
Aku mengambil nafas dalam, lalu
membuangnya. Aku berbalik dan menatap bocah itu sambil berusaha mati-matian
agar air mataku tak jatuh.
“Kau sudah mati.”
Dia menatapku bingung.
“Kau sudah mati, Dek. Kau sudah
mati. Kau tak ada lagi di dunia ini. Kau sudah di alam lain. Kita berbeda. Jangan
pernah datang lagi padaku. Kau hanya membawa luka itu. Kau hanya membuka lubang
itu semakin besar. Karena faktanya, aku tak pernah jadi kakak yang baik ketika
kau masih hidup.”
Pandanganku buram oleh bulir air
mata yang hendak jatuh.
“Pergi, Dek! Kau mau membuatku
semakin tersiksa? Pergi, Dek! Aku tak mau melihatmu lagi. Aku tak mau kau datang
lagi. Pergi, Dek! Pergi!”
Air mata mengalir membasahi
pipiku. Peduli amat soal istilah gentleman.
Aku benar-benar ingin menangis sekarang.
“Kau kenapa?”
“Aku menyesal, Dek! Aku menyesal
tidak menemanimu seperti yang seharusnya. Aku menyesal selalu bersikap kasar
padamu. Aku menyesal selalu mengabaikanmu ketika kau butuh bantuan. Aku
menyesal tidak bisa menjadi kakak yang baik ketika kau masih hidup. Aku menyesal,
Dek! Jadi jangan kembali lagi. Kau hanya membuatku semakin tersiksa.”
Aku menyeka air mataku dengan
kasar, “Pergi, Dek!”
*
Komentar
Posting Komentar